Jalan Dakwah
Tabiat Jalan Dakwah
Jalan dakwah merupakan jalan yang
panjang dan penuh kesukaran. Namun, setiap kita hendaknya sabar melaluinya
untuk membuktikan keimanan kita kepada Allah Ta’ala yang telah
berfirman,
الم (١)أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا
آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ (٢)وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (٣)
“Alif laam miim. Apakah manusia
mengira bahwa mereka dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’
dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum
mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui
orang-orang yang dusta.” (QS.
Al-Ankabut: 1-3)
Di jalan ini, para da’i pasti akan
berhadapan dengan gangguan dan penyiksaan, atau tuduhan-tuduhan dan
tekanan-tekanan. Bahkan kadangkala harus siap mengorbankan jiwa dan
raganya .
Oleh karena itu, di
jalan dakwah ini kita membutuhkan: kesabaran dan ketekunan; pengorbanan
tanpa mengharapkan hasil yang segera; serta usaha dan kerja berkelanjutan yang
hasilnya terserah kepada Allah Ta’ala semata.
Jika kita bersabar dan bertaqwa di
jalan dakwah ini, pada akhirnya Allah Ta’ala akan memberikan kemenangan
dan kesudahan yang baik. Dakwah betapa pun susahnya, derita dan pahit
yang dialami, tetapi terjamin hasilnya.
Hal ini sebagaimana peringatan Nabi
Musa ‘alaihis salam kepada kaumnya yang disebutkan di dalam Al-Qur’an,
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا
إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ
لِلْمُتَّقِينَ
Musa berkata kepada kaumnya:
“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini)
kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari
hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-A’raf: 128)
Wasilah dan Kebijaksanaan
Wasilah (sarana) dan kebijaksanaan
umum dalam dakwah kita ada tiga:
- Iman yang mendalam (al-Imanul ‘amiq)
- Pembentukan yang rapi (at-takwinud-daqiq)
- Usaha dan amal yang berkesinambungan (al-‘amalul
mutawashil)
Tujuan yang ingin dicapai dengan
dakwah ini adalah membentuk individu, rumah tangga, masyarakat muslim, dan
daulah Islamiyah. Hingga daulah itu bersatu di bawah satu Khilafah Islamiyah.
Ia kemudian bertanggung jawab memimpin dunia dengan panduan Al-Qur’an.
Tahapan Dakwah
Pertama, tahap penerangan (ta’rif), yaitu melakukan
propaganda, pengenalan, menggambarkan ide, dan menyampaikan dakwah ke
khalayak ramai dan seluruh lapisan masyarakat. Menyeru mereka agar kembali
kepada Al-Qur’an dan sunnah yang telah dikumpulkan dan disaring para ulama
sesuai pemahaman salafu shalih. Diantaranya adalah yang telah dirangkum
oleh Ustadz Hasan Al-Banna dalam ‘Ushul ‘Isyrin.
Kita menyeru umat kepada totalitas
ajaran Islam yang lengkap dan utuh, tanpa dipisah-pisahkan menjadi beberapa
bagian yang berserakan. Islam harus dilaksanakan sepenuhnya.
Adapun uslub (cara) dakwah
yang dilakukan pada tahapan ini adalah:
- Menyeru umat dengan keteladanan.
- Keikhlasan (tidak campur aduk dengan interes pribadi
dan tujuan duniawi).
- Berbekal bacaan/ilmu yang luas.
- Memahami tingkat pemahaman dan kondisi objek dakwah (mad’u).
- Menekankan masalah aqidah sebelum furu’iyah.
- Tidak terpengaruh oleh ‘kesuksesan’ atau ‘kegagalan’
dakwah.
- Tidak memilah-milah mad’u dalam berdakwah.
Melalui tahap takwin ini kita
mengharapkan seseorang akan terbentuk menjadi muslim yang berkarakter
sebagai berikut: salimul aqidah (bersih aqidahnya), shahihul ibadah
(benar ibadahnya), matinul khuluq (kokoh akhlaknya), qadirun ‘alal
kasbi (mampunyai usaha/berdikari), mutsaqaful fikri (pikirannya
terasah/berwawasan), qawiyyul jismi (kuat jasmaninya), mujahidun li
nafsihi (sanggup memerangi hawa nafsu), munazhzham fi syu’unihi
(teratur/rapi dalam urusannya), harishun ‘ala waqtihi (menjaga waktu),
dan nafi’un li ghairihi (bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya).
Kedua, tahap pembinaan (takwin), yaitu pembentukan, memilih
pendukung, menyiapkan mujahid dakwah, serta mendidiknya. Mereka dipilih dari
orang-orang yang telah menyambut dakwah.
Kesadaran rohani yang telah muncul
dalam tahap ta’rif tidak boleh dibiarkan musnah dan padam, tetapi harus
diarahkan agar bergerak dan melakukan perubahan-perubahan. Medan pertama takwin
dimulai dalam diri sendiri. Dalam tahapan ini, seorang individu muslim
diarahkan agar mau meng-shibghah dirinya dengan shibghah
(celupan, warna, atau cetakan) Allah Ta’ala,
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً
وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
“Shibghah Allah. Dan siapakah yang
lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami
menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 138)
Setelah secara berangsur-angsur
melalui takwin, individu-individu itu hanyalah bahan mentah. Maka
berlakulah sunnatullah bagi dakwah berupa ujian, cobaan, dan bencana untuk
membedakan mana yang asli dan mana yang palsu, mana yang jujur dan mana yang
dusta, mana emas dan mana loyang.
Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا
يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ
وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ
مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan
masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya
orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan
kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga
berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan
Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214)
Ketiga, tahap pelaksanaan (tanfidz), yaitu tahap beramal,
berusaha dan bergerak mencapai tujuan. Sedangkan maratibul amal (urutan
amal)-nya adalah: perbaikan individu (ishlahul-fard), perbaikan rumah
tangga (ishlahul-bait), perbaikan masyarakat (ishlahul-mujtama’),
pembebasan negeri (tahrirul-wathan), perbaikan pemerintahan (ishlahul-hukumah),
membangun khilafah (bina-ul-khilafah), dan pemanduan dunia (ustadziatul-alam)
Tiga tingkatan pertama merupakan
kewajiban individu-individu muslim secara umum, juga menjadi kewajiban gerakan
dakwah. Sedangkan empat tingkatan yang akhir merupakan tugas yang harus diemban
gerakan dakwah sebagai sebuah tandzim (struktur) dakwah yang aktif.
Penyelewengan di Jalan Dakwah
Saat mengarungi perjalanan dakwah
yang panjang ini, seorang aktivis dakwah harus selalu berada dalam keadaan
waspada. Karena banyak sekali kondisi yang dapat mendorong mereka terjerumus ke
dalam berbagai penyelewengan.
Diantara kondisi-kondisi yang
dapat mendorong terjadinya penyelewengan dakwah adalah:
Pertama, fitnah ilmu.
Yaitu munculnya sikap merasa kagum
terhadap ilmu yang telah dimiliki dari hasil kajiannya terhadap kitab-kitab dan
buku dakwah, lalu merasa ilmunya telah memadai dan telah mempunyai kemampuan
ber-istinbat (mengeluarkan/menyimpulkan hukum).
Diantara bentuk lain dari fitnah
ilmu yang dialami seorang da’i adalah memahami dalil secara tektual, lalu tidak
mau menerima pendapat orang lain. Bahkan tidak segan merendahkan imam-imam
mujtahid yang pandangannya berbeda dengan pendapat pribadinya.
Seyogyanya mereka dapat meneladani
para ulama terdahulu, diantaranya Imam Syafi’i yang pernah berkata:
رأيي صَوابٌ يَحتَمِلُ الخَطأ، و رأيُ غَيري خَطأ يَحتَمِلُ
الصَّوابَ
“Pendapatku benar tetapi bisa jadi
mengandung kesalahan, sedangkan pendapat selainku salah, tetapi bisa jadi
mengandung kebenaran”
Atau bisa jadi ia tidak bersikap
merendahkan orang lain dalam ilmu, tetapi ia terjebak pada kondisi mabuk membaca
dan mentelaah, dan tidak mau melibatkan dirinya dalam jihad dan amal lain yang
juga dituntut oleh agama. Hal seperti inipun sesungguhnya adalah penyelewengan
dari jalan dakwah.
Kedua, sikap mementingkan furu’iyyah (perkara-perkara
cabang) daripada ushul (perkara-perkara prinsip) dalam berdakwah.
Seharusnya, sebelum menyeru kepada furu’iyyah,
seorang da’i harus mengukuhkan terlebih dahulu masalah ushul.
Sikap tidak bijak dari para da’i dalam hal ini akan menyebabkan larinya mad’u
dari dakwah Islam. Juru dakwah harus tahu bahwa dakwah Islam itu bermula dari
menegakkan aqidah, iman, dan tauhid.
Ketiga, ghuluw
(berlebih-lebihan) dalam beribadah.
Terlalu keras dan keterlaluan dalam
membebani diri dengan wadhifah dan ibadah yang di luar kemampuannya. Atau mendahulukan
persoalan-persoalan sunnah dan nawafil, tapi melalaikan persoalan-persoalan
yang fardhu dan asasi.
Sikap berlebih-lebihan seperti itu
sama sekali tidak dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perhatikanlah hadits berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ رضي الله
عنها ، قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
«يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ، وَتَقُومُ
اللَّيْلَ؟» ، فَقُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «فَلاَ تَفْعَلْ صُمْ
وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ
لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ
لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصُومَ كُلَّ شَهْرٍ
ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا، فَإِنَّ
ذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ» ، فَشَدَّدْتُ، فَشُدِّدَ عَلَيَّ قُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَجِدُ قُوَّةً قَالَ: «فَصُمْ صِيَامَ نَبِيِّ اللَّهِ
دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَلاَ تَزِدْ عَلَيْهِ» ، قُلْتُ: وَمَا كَانَ
صِيَامُ نَبِيِّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ؟ قَالَ: «نِصْفَ الدَّهْرِ»
، فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَقُولُ بَعْدَ مَا كَبِرَ: يَا لَيْتَنِي قَبِلْتُ
رُخْصَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash
radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepadaku, ‘Wahai ‘Abdullah, apakah benar berita bahwa engkau
berpuasa di waktu siang lalu shalat malam sepanjang malam?’ Saya menjawab,
‘Benar, wahai Rasûlullâh’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Janganlah engkau lakukan itu, tetapi berpuasa dan berbukalah! Shalat malam dan
tidurlah! karena badanmu memiliki hak yang harus engkau tunaikan, matamu punya
hak atasmu, isterimu punya hak atasmu, dan tamumu pun punya hak yang harus
engkau tunaikan. Cukuplah bila engkau berpuasa selama tiga hari setiap bulan,
karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu
berarti engkau telah melaksanakan puasa sepanjang tahun’. Kemudian saya meminta
tambahan, lalu Beliau menambahkannya. Saya mengatakan, ‘Wahai Rasûlullâh, saya
merasa diriku memiliki kemampuan’. Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Berpuasalah dengan puasanya Nabi Allâh Dawud alaihissallam dan
jangan engkau tambah lebih dari itu’. Saya bertanya, “Bagaimanakah cara
puasanya Nabi Dawud Alaihissallam?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, ‘Beliau berpuasa setengah dari puasa dahr (puasa sepanjang
tahun). Maka setelah ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash sampai di usia tua ia
berkata, ‘Seandainya dahulu aku menerima keringanan yang telah diberikan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ ” (HR.
Bukhari)
Keempat, terburu-buru.
Karena pengaruh situasi dan kondisi
tertentu, kadangkala sebagian orang menjadi terlalu bersemangat berapi-api dan
penuh gairah hingga menggunakan senjata (melakukan pemberontakan) untuk
mempercepat perjalan mencapai tujuan.
Para juru dakwah harus bersikap
tenang; siapkanlah terlebih dahulu kekuatan aqidah dan keteguhan iman; lalu kekuatan
persatuan; dan barulah kekuatan senjata, itupun jika sudah tidak ada jalan
lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
التَّأَنيِّ مِنَ اللهِ وَ العُجْلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Sifat perlahan-lahan (sabar)
berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari setan.” (HR. Abu Ya’la dan Baihaqi).
Kelima, terjangkit virus takfir (pengkafiran).
Ide takfir adalah penyelewengan
fikrah yang sangat berbahaya. Para da’i harus sadar, tugas mereka hanyalah
menyeru dan tidak ditugaskan untuk memvonis manusia. Persoalan takfir adalah
perkara yang berat dan berbahaya, tidak dapat dilakukan dengan sembrono.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
كُلُّ المُسِلمِ عَلَى المُسلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ
وَعِرضُهُ
“…Setiap muslim atas muslim
yang lain itu haram darahnya, harta, dan kehormatannya.” (HR. Imam Muslim)
Kepada mereka yang secara lahir
telah mengakui dua kalimat syahadat, tidak dibenarkan bertindak gegabah dengan
mengkafirkannya secara definitif. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menegur Usamah bin Zaid dengan keras karena telah membunuh seseorang dalam
peperangan, padahal orang tersebut telah mengucapkan Laa ilaaha
illallah.
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ وَهَذَا حَدِيثُ ابْنِ أَبِي
شَيْبَةَ قَالَ بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
سَرِيَّةٍ فَصَبَّحْنَا الْحُرَقَاتِ مِنْ جُهَيْنَةَ فَأَدْرَكْتُ رَجُلًا
فَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَطَعَنْتُهُ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ
فَذَكَرْتُهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَقَتَلْتَهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنْ
السِّلَاحِ قَالَ أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ
لَا فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي أَسْلَمْتُ
يَوْمَئِذٍ
Dari Usamah bin Zaid ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami bersama pasukan kecil maka kami pun
menyerang beberapa dusun dari qobilah Juhainah, maka Aku pun berhadapan dengan
seseorang, dia mengucapkan la ilaha illallah, namun Aku tetap menikamnya. Namun
setelah itu Aku merasa tidak enak akan hal itu maka akupun menceritakan hal itu
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata, ‘Apakah ia mengucapkan la ilha illallah lantas engkau tetap
membunuhnya?’. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, dia mengucapkannya hanya karena
takut pedangku!’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Mengapa
engkau tidak membelah hatinya hingga engkau tahu bahwa dia mengucapkannya
karena takut atau tidak!?’. Berkata Usamah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam terus mengulang-ulang perkataannya kepadaku itu hingga aku
berangan-angan seandainya aku baru masuk Islam saat itu” (HR Muslim
1/96)
Hendaknya kita fokus pada
kerja dakwah. Kenalilah realita dan kondisi umat ini. Bukankah musuh-musuh
Allah telah menjajah negara-negara Islam di seluruh dunia dalam masa yang lama.
Oleh karena itu timbulah generasi-generasi yang jahil terhadap agama?
Bersabarlah menghadapi kondisi
seperti ini, dan lipatgandakanlah usaha dan amal kita untuk menarik
tangan-tangan mereka, menasehati, memberi bimbingan, menyampaikan hidayah Islam
kepada mereka. Karena untuk mencapai tujuan itu tidak cukup dengan fatwa kafir
dan membangun tembok pemisah antara kita dengan mereka.
Rintangan Dakwah
Di jalan dakwah ini seorang da’i
harus mempersiapkan diri agar tegar menghadapi berbagai macam rintangan yang
menghadang:
Pertama, berpalingnya manusia dari dakwah.
Hadapilah rintangan ini dengan sikap
sabar. Teladanilah kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
teladani pula kesabaran Nabi Nuh ‘alaihis salam yang sanggup bertahan
dan tegar berdakwah selama 950 tahun lamanya.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ
أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ
ظَالِمُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun
kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah
orang-orang yang zalim.” (QS.
Al-Ankabut: 14)[1]
Kedua, olok-olok dan ejekan.
Sambutlah olok-olok dan ejekan itu
dengan do’a:
اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Ya Allah, berikanlah petunjuk dan
hidayah kepada mereka, sebab mereka tidak mengetahui”.
Renungkanlah firman Allah Ta’ala
berikut,
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ
وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dengan
kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang
yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.” (QS. Fushilat: 34).
Ketiga, penyiksaan.
Ini adalah sunnatullah di dalam
dakwah. Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا
يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ
وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ
مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan
masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya
orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan
kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam cobaan) sehingga berkatalah
Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan
Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-Baqarah: 214)
Keempat, mengalami kesenangan setelah kesusahan.
Ini adalah tantangan tidak terduga
bagi pengemban dakwah, yaitu ketenangan, ketentraman, dan suasana ceria setelah
sebelumnya mengalami berbagai macam ujian dan cobaan yang menyengsarakan.
Terutama jika kesenangan dan kelapangan itu disertai kemewahan dan kesenangan
hidup. Pada saat itulah kemewahan bisa menjadi awal kemalasan dalam melanjutkan
perjuangan dakwah.
Dalam kondisi seperti itu para
pengemban dakwah dapat berubah menjadi orang yang sering mencari-cari alasan
dan mereka-reka berbagai dalih untuk membenarkan kemalasannya. Na’udzubillahi
min dzalik…
Kelima, jabatan dan ma’isyah (penghidupan).
Saat masih muda, ketika masih
menjadi seorang mahasiswa atau pelajar, dakwah dapat dilakukan dengan ringan
dan bersemangat karena belum memiliki tanggungan keluarga. Namun ketika lulus
dari PT dan terikat dengan pekerjaan, disinilah komitmen seseorang terhadap
dakwah teruji. Hanya mereka yang memiliki kekuatan imanlah yang dapat meneruskan
perjalanan dakwah.
Jabatan dan ma’isyah adalah
wasilah/sarana kehidupan, hendaknya tidak menjadi rintangan yang menghalangi
untuk mencapai tujuan.
Keenam, istri dan Anak.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ
وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang mu’min,
sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka..” (QS. At-Taghabun: 14)
Ada di antara istri-istri dan
anak-anak yang menjadi musuh bagi suami dan orang tuanya; mencegah mereka
berbuat baik yang mendekatkan mereka kepada Allah Ta’ala, menghalangi
mereka beramal saleh yang berguna bagi akhirat mereka.
Ketujuh, mabuk dunia dan harta.
Terbukanya berbagai fasilitas dan
kekayaan, berkembangnya usaha, dan kemudahan memperoleh harta dapat memabukkan
seorang da’i.
Mencari harta tidak boleh ditentang,
bahkan harus digalakan, tetapi harus disadari bahwa ia hanyalah merupakan alat,
bukan menjadi cita-cita yang utama atau orientasi dalam kehidupan. Oleh karena
itu seorang yang beriman harus mengawasi dirinya dengan keras agar tidak jatuh
tersungkur di dalam rintangan seperti itu.
Kedelapan, bisikan-bisikan negatif.
Berhati-hatilah dari suara-suara
atau bisikan-bisikan dari lingkungan sekitar yang menghalangi dan melemahkan
tekad. Baik itu berupa saran, ajakan, ajaran-ajaran, dan ancaman dari pihak
yang memiliki penyakit dalam hatinya.
Allah Ta’ala menceritakan tipikal
orang semacam ini,
وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ
أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ
“..mereka berkata: ‘Janganlah kamu
berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini’. Katakanlah: ‘Api neraka
jahannam itu lebih sangat panas(nya)’. jika mereka mengetahui.” (QS. At-Taubah: 81).[2]
Kesembilan, kerasnya hati.
Hal ini dapat terjadi kepada seorang
da’i, karena terlalu lama tidak aktif dalam berdakwah. Allah Ta’ala
memperingatkan umat Islam agar terhindar dari kondisi kerasnya hati ini dengan
firman-Nya,
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ
لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ
وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi
orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada
kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16).
Catatan
Kaki:
[1] Lihat pula: QS. Nuh ayat 5 – 9
[2] Lihat juga: Ali Imran: 168 dan At-Taubah: 47.
Komentar
Posting Komentar